Rabu, 30 November 2011

Hukum Perburuhan

HUKUM PERBURUHAN

UU Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja dan UU Nomor 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan, yang subantsinya sangat protektif terhadap hak-hak buruh. Misalnya, dalam UU Nomor 12 Tahun 1948, ada pasal yang melarang diskriminasi kerja; jam kerja yang 40 jam dalam seminggu; kewajiban pengusaha untuk menyediakan fasilitas perumahan bagi buruh/pekerja; larangan mempekerjakan anak di bawah usia 14 tahun; jaminan hak perempuan buruh untuk mengambil cuti haid dua hari dalam sebulan; dan pembatasan kerja malam bagi perempuan.

dan lebih diperjelas lagi dalam UUD NO.12 TH 1948
Undang – Undang Nomor 12 tahun 1948 pasal 10 ayat 1 mengatakan : “ Buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu “.
Ini berarti bahwa waktu kerja dibatasi hanya dalam jangka waktu 7 jam sehari dan 40 jam seminggu. Kenyataannya banyak perusahaan yang memperkerjakan pekerjaannya melebihi ketentuan tersebut diatas. Hal tersebut diperbolehkan asal ada izin dari Departemen Tenaga Kerja sebagaimana diatur dalam pasal 12 ayat 1 peraturan pemerintah No 4 tahun 1951 pasal II sub pasal 2 yang berbunyi sebagai berikut : Dengan izin dari kepala jawatan perburuhan atau yang ditunjuk olehnya, bagi perusahaan yang penting untuk penbangunan negara, majikan dapat mengadukan aturan waktu kerja yang menyompang dari pasal 10 ayat 1, kalimat pertama ayat dua dan tiga Undang – Undang kerja tahun 1948.
Didalam surat keputusan izin penyimpangan waktu kerja dan waktu istirahat dicantumkan syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh pihak pengusaha. Pengaturan tentang kerja lembur tersebut diatur dalam keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP. 608/MEN/1989 tentang : “ Pemberian izin penyimpangan waktu kerja dan waktu istirahat bagi perusahaan – perusahaan yang memperkerjakan pekerjaan 9 jam sehatri dan 54 jam seminggu “.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964
UNDANG-UNDANG NO. 12 TAHUN 1964

TENTANG
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI PERUSAHAAN SWASTA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UMUM.
Bagikaum buruh putusnya hubungan kerja berarti permulaan masa pengangguran dengansegala akibatnya, sehingga untuk menjamin kepastian dan ketenteraman hidup kaumburuh seharusnya tidak ada pemutusan hubungan kerja.
Tetapipengalaman sehari-hari membuktikan bahwa pemutusan hubungan kerja tidak dapatdicegah seluruhnya.
Berbagaijalan dapat ditempuh untuk memecahkan persoalannya. Setelah ditinjaumasak-masak berdasarkan pengalaman-pengalaman yang lampau, maka pada hematPemerintah, sistim yang dianut dalam Undang-undang ini adalah yang paling tepatbagi negara kita dalam taraf pertumbuhan sekarang.
Pokok-pokokpikiran yang diwujudkan dalam Undang-undang ini dalam garis besarnya adalahsebagai berikut:
1. Pokok pangkal yang harus dipegang teguhdalam menghadapi masalah pemutusan hubungan kerja ialah bahwa sedapat mungkinpemutusan hubungan kerja harus dicegah dengan segala daya upaya, bahkan dalambeberapa hal dilarang.
2. Karena pemecahan yang dihasilkan olehperundingan antara pihak-pihak yang berselisih sering kali lebih dapat diterimaoleh yang bersangkutan dari pada penyelesaian dipaksakan oleh Pemerintah, makadalam sistim Undang-undang ini, penempuhan jalan perundingan ini merupakankewajiban, setelah daya upaya tersebut pada 1 tidak memberikan hasil.
3. Bila jalan perundingan tidak berhasilmendekatkan kedua pihak, barulah Pemerintah tampil kemuka dan campur-tangandalam pemutusan hubungan kerja yang hendak dilakukan oleh Pengusaha. Bentukcampur-tangan ini adalah pengawasan prepentip, yaitu untuk tiap-tiap pemutusanhubungan Kerja oleh pengusaha diperlukan izin dari Instansi Pemerintah.
4. Berdasarkan pengalaman dalam menghadapimasalah pemutusan hubungan kerja, maka sudah setepatnyalah bila pengawasanprepentip ini diserahkan kepada Panitya Penyelesaian Perselisihan PerburuhanDaerah dan Panitya Penyelesaian Perburuhan Pusat.
5. Dalam Undang-undang ini diadakanketentuan-ketentuan yang bersifat formil tentang cara memohon izin, memintabanding terhadap penolakan permohonan izin dan seterusnya.
6. Disamping itu perlu dijelaskan bahwabilamana terjadi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran sebagai akibatdari tindakan Pemerintah, maka Pemerintah akan berusaha untuk meringankan bebankaum buruh itu dan akan diusahakan penyaluran mereka pada perusahaan/proyekyang lain.
7. Demikian juga pemutusan hubungan kerja karena akibat modernisasi, otomatisasi, effisiency dan rationalisasi yang disetujui oleh Pemerintah mendapat perhatian Pemerintah sepenuhnya dengan jalan mengusahakan secara aktif penyaluran buruh-buruh itu keperusahaan/proyek lain.

Menimbang : bahwa untuk lbih menjamin ketentraman dan kepastian bekerja bagi kaum buruh yang disamping tani harus menjamin kekuatan pokok dalam revolusi dan harus menjadi soko guru masyarakat adil dan makmur, seperti yang tersebut dalam manifesto politik, beserta perinciannya, perlu segera dikeluarkan Undang-undang tentang Pemutusan Hubungan kerja di Perusahaan Swasta

Mengingat :
1. Pasal 5 ayat 1, pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Dasar;
2. undang-undang No. 10 Prp Tahun 1960 jo Keputusan Presiden No. 239 Tahun 1964;
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong.

MEMUTUSKAN :
I. Mencabut ; "Regeling Ontslagrecht voor bepaalde niet Europese Arbeiders" (Staatblad 1941 No. 396) dan peraturan-peraturan lain mengenai pemutusan hubungan kerja seperti tersebut di dalam undang-undang Hukum Perdata pasal 1601 sampai dengan 1603 Oud dan pasal 1601 sampai dengan 1603, yang berlawanan dengan ketentuan tersebut di dalam Undang-undang ini.
II. Menetapkan : Undang-undang tentang pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta.

Pasal 1

(1) Pengusaha harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja
(2) Pemutusan hubungan kerja dilarang:
a. selama buruh berhalangan pekerjaannya karena keadaan sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan terus menerus.
b. selama buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap Negara yang ditetapkan oleh Undang-undang atau Pemerintah atau karena menjalankan ibadat yang diperintahkan agamanya atau yang disetujui Pemerintah.

Pasal 2

Bila telah diadakan segala usaha pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindarkan, pengusaha harus merundingkan maksudnya untuk memutuskan hubungan kerja dengan organisasi buruh yang bersangkutan atau dengan buruh sendiri dalam hal buruh itu tidak menjadi anggota dari salah satu organisasi buruh.

Pasal 3

(1) Bila perundingan tersebut dalam pasal 2 nyata-nyata tidak menghasilkan persesuaian paham, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan buruh, setelah memperoleh izin Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (Panitia Daerah), termasuk dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara tahun 1957 No. 42) bagi pemutusan hubungan kerja perseorangan, dan dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (Panitia Pusat) termasuk dalam pasal 12 Undang-undang tersebut di atas bagi pemutusan hubungan kerja secara besar-basaran .
(2) Pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran dianggap terjadi jika dalam satu perusahaan dalam satu bulan, pengusaha memutuskan hubungan kerja dengan 10 orang buruh atau lebih, atau mengadakan rentetan pemutusan-pemutusan hubungan kerja yang dapat menggambarkan suatu itikad untuk mengadakan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.

Pasal 4

Izin termasuk dalam pasal 3 tidak diperlukan, bila pemutusan hubungan kerja dilakukan terhadap buruh dalam masa percobaan.
Lamanya masa percobaan tidak boleh melebihi tiga bulan dan adanya masa percobaan harus diberitahukan lebih dahulu pada calon buruh yang bersangkutan.

Pasal 5

(1) Permohonan izin pemutusan hubungan kerja beserta alasan-alasan yang menjadi dasarnya harus diajukan secara tertulis kepada Panitia Daerah, yang wilayah kekuasaannya meliputi tempat kedudukan pengusaha bagi pemutusan hubungan kerja perseorangan dan kepada Panitia Pusat bagi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.
(2) Pemogokan izin hanya diterima oleh Panitia Daerah/Panitia Pusat bila ternyata bahwa maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan seperti termaksud dalam pasal 2 tetapi perundingan ini tidak menghasilkan persesuaian paham.

Pasal 6

Panitia Daerah dan Panitia Pusat menyelesaikan permohonan izin pemutusan hubungan kerja dalam waktu sesingkat-singkatnya, menurut tata cara yang berlaku untuk menyelesaikan perselisihan perburuhan.

Pasal 7

(1) Dalam mengambil keputusan terhadap permohonan izin pemutusan hubungan kerja, Panitia daerah dan Panitia Pusat disamping ketentuan-ketentuan tentang hal ini yang dimuat dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 No. 42), memperhatikan keadaan dan perkembangan lapangan kerja serta kepentingan buruh dan perusahaan.
(2) Dalam hal Panitia Daerah dan Panitia Pusat memberikan izin maka dapat ditetapkan pula kewajiban pengusaha untuk memberikan kepada buruh yang bersangkutan uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian lain-lainnya.
(3) Penetapan besarnya uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian lainnya diatur didalam Peraturan Menteri Perburuhan.
(4) Dalam Peraturan Menteri Perburuhan itu diatur pula pengertian tentang upah untuk keperluan pemberian uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian tersebut diatas.

Pasal 8

Terhadap penolakan pemberian izin oleh Panitia Daerah, atau pemberian izin dengan syarat, tersebut dalam pasal 7 ayat (2), dalam waktu empat belas hari setelah putusan diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan, baik buruh dan/atau pengusaha maupun organisasi Buruh/atau organisasi pengusaha yang bersangkutan dapat minta banding kepada Panitia Pusat.

Pasal 9

Panitia Pusat menyelesaikan permohonan banding menurut tata cara yang berlaku untuk menyelesaikan perselisihan perburuhan dalan tingkat banding.

Pasal 10

Pemutusan hubungan kerja tanpa izin tersebut pada pasal 3 adalah batal karena hukum.

Pasal 11

Selama izin termaksud dalam pasal 3 belum diberikan, dan dalam hal ada permintaan banding tersebut pada pasal 8, Panitia Pusat belum memberikan keputusan, baik pengusaha maupun buruh harus tetap memenuhi segala kewajibannya.

Pasal 12

Undang-undang ini berlaku bagi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di perusahaan-perusahaan swasta, terhadap seluruh buruh dengan tidak menghiraukan status kerja mereka, asal mempunyai masa kerja lebih dari 3 (tiga) bulan berturut-turut.

Pasal 13

Ketentuan-ketentuan pelaksanaan yang belum diatur dalam Undang-undang ini ditetapkan oleh Menteri Perburuhan.

Pasal 14

Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penetapannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar